Bangun, bangunlah kekasih, berapa lama engkau tertidur?
Mimpi-mimpi yang paling sering mendatangiku adalah mimpi-mimpi tentang tempat ini…
Ada yang tertinggal di gerbang itu: Nelangsa, dendam dan rindu yang menyiksa. Semacam perasaan asing yang menyelinap di dada kecil seorang anak yang mengira bahwa ia tengah dibuang orangtuanya.
Ada yang tertinggal di halaman asrama: Gelak tawa, air mata yang tertahan, juga impian yang digenggam di dalam saku celana. Waktu bergerak perlahan, oh…waktu bergerak perlahan, seperti petikan gitar seorang teman di sisa-sisa bulan penghabisan.
Ada yang tertinggal di halaman masjid itu: Sujud yang panjang, derai air mata penyesalan, juga takwa yang terpaksa. Sementara hafalan Quran dan Hadits tak kunjung masuk di kepala, kita justru sibuk menghitung jumlah kendaraan—sambil menebak-nebak nama bus antar kota antar provinsi.
Ada yang tertinggal di kelas itu: Kantuk yang berat, guru-guru yang setia berbagi cerita, dan surat cinta yang terselip di buku-buku tebal pelajaran. Apa kabar guru-guru kita? Apa kabar para pembina? Apa kabar jendela-jendela kelas tempat kita bertukar surat cinta?
Demi mimpi-mimpi itu, bangunlah… Bangunlah untuk semua kenangan yang pernah kita reka bersama-sama. Bangunlah untuk semua sedih dan bahagia yang telah membuat kita menjadi dewasa. Bangunlah untuk membebeaskan segala yang pernah membuat dada jadi sesak—untuk semua yang pernah membuat kita tak lagi saling menyapa.
Bangunlah, bangunlah kekasih… Pulanglah. Kita tak perlu menjadi apa-apa, dan tak perlu menjadi siapa-siapa, untuk kembali menjadi suadara yang kebetulan saja dilahirkan dari ayah dan ibu yang berbeda…
Sebab kita telah dibesarkan di bawah langit yang sama, di atas tanah yang sama, dalam dekapan kasih sayang mereka yang jasa-jasanya tak bisa kita bayar dengan apapun saja!